Pelajar
sebagai putra putri calon penerus bangsa, yang menjadi tumpuan harapan masa
depan , bangsa Indonesia, seharusnya bisa bersikap arif dan bijak sana dalam
mangambil sikap. Namun tak bisa di pungkiri bahwa generasi muda kita sering
melakukan tindakan yang negative, sehingga tanpa di sadari oleh mereka tindakan
mereka merugikan diri sendiri dan lingkungan mereka.
Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi
masyarakat. Prilaku tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta
benda atau korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia. Akankah
tindakan represif semacam itu akan menyelesaikan masalah?. Maraknya tawuran
pelajar dipicu oleh banyak faktor. Pada tingkat mikro, rendahnya kualitas
pribadi dan sosial siswa mendorong mereka berprilaku yang tidak pronorma. Pada
tingkat messo, buruknya kualitas dan manajemen pendidikan mendorong rasa
frustasi anak yang dilampiaskan pada tindakan negatif, termasuk tawuran. Di
tingkat makro, persoalan pengangguran, kemiskinan, dan kesulitan hidup memberi
sumbangan tinggi bagi terbentuknya masyarakat (termasuk siswa) yang merasa
kehilangan harapan untuk hidup layak. Pembahasan pada artikel ini dibatasi pada
bidang pendidikan.
Tawuran antar pelajar masih terus menimbulkan banyak korban
berjatuhan sampai saat ini. Dibutuhkan waktu yang lama untuk membersihkan
Indonesia dari jejak-jejak kenakalan para remaja yang tidak bertanggung jawab
melakukan tindak kejahatan di dunia pendidikan, yang seharusnya tidak pernah
mereka lakukan demi kepentingan pribadi maupun kelompok. Mereka menggunakan
dalih demi harga diri serta berbagai alasan demi memenuhi hawa nafsunya. Beragam
“prestasi buruk” selama ini menghadapkan pendidikan pada pertanyaan mendasar
tetapi sangat fundamental: sejauhmana efektivitas pendidikan bagi peningkatan
kualitas siswa. Pertanyaan mendasar tersebut layak dikedepankan mengingat
sumbangsih pendidikan bagi masyarakat belum terlihat secara kasat mata. Padahal
“investasi” yang diserap dunia pendidikan sangat besar. Pendidikan belum
berhasil menjadi solusi bagi kesejahteraan hidup manusia, tetapi sebaliknya:
menciptakan masalah bagi masyarakat.
Mengapa kasus tawuran remaja antar pelajar di Indonesia
begitu banyak? Paling tidak ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini
terjadi. Pertama, kurangnya perhatian pemerintah terhadap dunia
pendidikan, khususnya dalam pembentukan karakter generasi muda sesuai dengan
tujuan nasional pendidikan. Kedua, kurangnya pengawasan orang tua,
lingkungan, pergaulan, dan senioritas. Ketiga, tak adanya langkah
pencegahan yang sistematis serta tidak adanya sanksi yang mendidik, juga
kurangnya komunikasi antara orang tua dan guru.
Salah satu masalah yang dihadapi pendidikan adalah kurikulum
yang dianggap terlalu berat dan membebani siswa. Kuatnya campur tangan
pemerintah dalam dunia pendidikan ditengarai pada dominannya pemerintah dalam
penyusunan kurikulum. Di samping itu, banyak pihak yang ingin memasukan
“kepentingannya” dalam kurikulum pendidikan. Departemen Koperasi ingin ada
pelajaran tentang koperasi, pengusaha industri ingin ada pelajaran teknis
kerja, serikat buruh ingin ada pelajaran tentang buruh. Akibatnya batok kepala
siswa menjadi “keranjang sampah” bagi beragam kepentingan.
Banyaknya bidang kajian menjadikan substansi pengetahuan
menjadi sedikit, tetapi terlalu montok. Akhirnya kita lupa, bahwa apa yang
dipelajari siswa “tidak bermanfaat”. Sudah sumpeg, metode pembelajarannya pun
represif. Modus pembelajaran yang monolog oleh guru terasa benar miskin makna. Yang
dimaksud cerdas oleh guru adalah besarnya daya ingat siswa terhadap segudang
informasi, seperti halnya ketangkasan cerdas cermat.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya. Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan konfow-konfow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit jantung.
Pendidikan juga terlalu science minded. Ada siswa SMU yang setiap minggunya harus belajar matematika 10 jam dan fisika masing-masing 10 jam pelajaran. Seolah-olah matematika dan fisika merupakan satu-satunya jawaban dari persoalan hidup manusia. Jarang sekali ada sekolah yang mengembangkan pembelajaran sesuai potensi, minat, dan bakat siswa seperti olah raga atau musik, misalnya. Akibat kurikulum yang terlalu berat menjadikan sekolah sebagai “stressor baru” sebagai siswa. Disebut “baru” karena siswa sebenarnya sudah sangat tertekan akibat berbagai persoalan keluarga dan masyarakat (termasuk pengangguran dan kemiskinan). Akibatnya, siswa ke sekolah tidak enjoy tetapi malah stress. Siswa tidak menganggap sekolah sebagai aktivitas yang menyenangkan tetapi sebaliknya: membebani atau bahkan menakutkan. Akibatnya, siswa lebih senang keluyuran dan konfow-konfow di jalan-jalan daripada mengikuti pelajaran di sekolah. Ada joke yang akrab di masyarakat, sekolah sudah menjadi “pembunuh nomor satu” di atas penyakit jantung.
Siswa
bukan hanya terbunuh secara fisik karena tawuran, tetapi juga terbunuh bakat
dan potensinya. Banyak talenta siswa yang semestinya bisa dikembangkan dalam
bidang olahraga, seni, bahasa, atau jurnalistik, hilang sia-sia akibat “mabuk”
belajar fisika dan matematika.
Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6 hari perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya. Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan? Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”. Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Seorang kawan secara berkelakar mengatakan lebih enak bekerja daripada sekolah. Orang bekerja mulai pukul 9 sampai 4 sore (7 jam), selama 5 hari perminggu. Sedangkan siswa masuk sekolah pukul 7 sampai 13.30 (6,5 jam), hampir sama dengan orang bekerja. Tetapi ingat malam hari siswa harus belajar atau mengerjakan pekerjaan rumah, serta masuk 6 hari perminggu.
Bagaimana mengatasi kurikulum dianggap overload ini? Karena sudah “terlanjur”, pendidikan harus berani meredefinisi semua programnya. Tetapi, sanggupkah para penentu kebijakan melakukan perombakan? Itulah masalahnya. Banyak pengelola pendidikan bermental “priyayi”. Mereka lebih memikirkan kenaikan pangkatnya daripada peningkatan kualitas pendidikan. Budaya “cari muka” dan “minta petunjuk” membuat mereka tidak berani melakukan perubahan. Sebab, mereka tidak mau mempertaruhkan kenaikan pangkatnya. Lebih baik “adem ayem” kenaikan pangkat lancar daripada “kritis” tetapi terancam.
Selain hal tersebut di atas, faktor lain yang menyebabkan
sulitnya memberantas tawuran antar pelajar adalah karena tidak adanya sekolah
yang sampai saat ini memberikan kurikulum pendidikan karakter yang nyaman dan
aman (caring community), khususnya tentang pentingnya saling menghargai beda
pendapat, saling menghormati antar sesama, serta akhlak dan budi pekerti yang
luhur kepada para pelajar. Pendidikan ini juga diperlukan sebagai langkah
pencegahan makin maraknya aksi tawuran di Indonesia. Ciri pendidikan karakter
adalah terbentuknya perilaku yang relatif menetap menjadi kepribadian teguh
dalam bersikap, dan muncul perasaan bersalah jika melanggar perilaku yang telah
tertanam.
Meminjam istilah dari Wynne (1991), pendidikan karakter
adalah pendidikan yang fokus pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan
dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Sehingga, jika seseorang berperilaku
tidak jujur, kejam, atau rakus dikatakan orang berkarakter jelek. Dan
sebaliknya. Pendidikan karakter akan berimbas pada kepribadian seseorang,
dimana ia bisa disebut orang yang berkarakter (the character person) jika
tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Para pelajar tentunya sangat perlu
ditanamkan pendidikan ini untuk membentuk kepribadian dan perilakunya menjadi
baik dan sesuai kaidah moral.
Jadi, para pelajar dituntut tidak hanya mengetahui dan
memahami pendidikan karakter, tetapi juga mengaplikasikannya dalam kehidupan,
seperti berperilaku baik, bertanggung jawab, dan saling menghormati. Bukannya
hanya menerapkan saat penanaman pendidikan karakter berlangsung. Dengan begitu,
para pelajar akan mampu memberikan pencegahan sedini mungkin untuk menumpas
tawuran antar pelajar. Setidaknya dalam hal kecil yang ia temui setiap harinya,
dapat memberi suntikan semangat bagi pemerintah untuk melakukan tidakan
prefentif pencegahan tawuran antar pelajar semakin meluas di negeri ini.
Hal ini menjadi tugas kita bersama sebagai guru yang
merupakan pendidik untuk berperan serta menumpas tawuran yang kian merajalela.
Peran ini harus dipertanyakan secara kritis, mengingat guru adalah pendidik
yang harus mampu memberikan teladan, baik dalam bidang penanaman akhlak,
perilaku, dan sikap yang terpuji. Serta, penerapan pendidikan karakter secara
rutin, aman, dan nyaman sehingga mereka mengetahui bahaya tawuran antar pelajar
bagi kelangsungan pendidikan mereka.
Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter
sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan
Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi
pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada
pencapaian akademis. ( suber dari
berbagai media )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar